Merayakan hari ibu adalah termasuk perayaan
baru yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam,
tidak juga para shahabatnya radhiallahu anhum. Di sisi lain, hal tersebut
merupakan tindakan menyerupai orang kafir yang kita diperintahkan untuk
berbeda dengannya. Oleh karena itu, tidak dibolehkan merayakannya. Tidak
boleh mentaati ibunya dalam hal ini. berdasarkan sabda Nabi sallallahu
alaihi wa sallam:
لا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي
الْمَعْرُوفِ ( رواه البخاري، رقم
7257،
ومسلم، رقم
1840)
"Tidak ada ketaatan dalam (berbuat)
kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan adalah dalam berbuat kebaikan." (HR.
Bukhari, 7257 dan Muslim, 1840)
Hendaknya dia tetap berbakti dan berbuat baik
kepadanya. Terus menjelaskan bahwa perayaan ini termasuk bid’ah baru,
sedangkan Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Seburuk-buruk perkara
adalah perkara yang diada-adakan dalam agama. Setiap bid’ah adalah sesat."
(HR. Muslim, 867 dan Nasa’i, 1578 dengan tambahan, ‘Setiap kesesatan masuk
neraka.')
Ibu adalah orang yang berhak dihargai dan
dihormati, diperintahkan berbakti dan menyambungnya sepanjang masa. Untuk
dikhususkan menghormatinya pada hari tertentu?
Kemudian bid’ah ini, tidak datang kepada kita
kecuali lewat masyarakat yang suka durhaka kepada orang tua. Dimana ayak dan
ibu tidak mendapatkan tempat berteduh kecuali di panti jompo, membuat mereka
terasa jauh, terputus dan menderita. Mereka mengira, sehari menghormatinya
dapat menghapus kedurhakaannya pada sisa tahun lainnya.
Sementara kita, umat Islam telah
diperintahkan untuk berbakti dan menyambungnya. Dilarang berbuat durhaka.
Kedudukan ibu dalam agama kita, diberikan (hak-hak) yang tidak ada pada
agama lain. Hak seorang ibu lebih diutamakan dari pada hak seorang ayah.
Sebagaimana diriwayatkan Bukhari, 5514 dan Muslim, 4621 dari Abu Hurairah
radhiallahu anhu, dia berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ
صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّك
قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالثُمَّ
أَبُوك
"Seorang laki-laki mendatangi Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Siapa orang
yang lebih berhak untuk saya berbakti? Beliau menjawab, ‘Ibumu.' Dia berkata
lagi, ‘Kemudian siapa?' Beliau menjawab, ‘Ibumu.' Dia berkata, ‘Kemudian
siapa?' Beliau menjawab, ‘Ibumu.' Dia berkata, ‘Kemudian siapa?' Beliau
menjawab, ‘Ibumu.' Berkata, ‘Kemudian siapa?' Beliau menjawab, ‘Baru
ayahmu."
Bakti kepada ibu tidak terputus dengan
wafatnya, dia tetap mulia waktu hidupnya dan setelah meninggal dunia. Hal
tersebut dapat diwujudkan dengan berdoa dan memohon ampunan untuknya.
Melaksanakan wasiatnya, serta memuliakan kerabat dan teman-temanya.
Hendaknya anda memegang teguh agama nan agung
ini. Berkomitmen dengan adab dan hukumnya. Di dalamnya ada petunjuk,
kecukupan dan kerohmatan.
Syekh Ali Mahfud rahimahullah menjelaskan
tentang perayaan ini terkait dengan menyerupai orang kafir, ‘Sebagai
penjelasan akan bahayanya perayaan selain perayaan Islam, Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam telah memberitahukan bahwa sekelompok golongan
dari umatnya akan mengikuti Ahli Kitab pada sebagian syiar dan adat mereka.
Sebagaimana yang ada dalam hadits Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dari
Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، شِبْرًا شِبْرًا
، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ .
قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى ؟ قَالَ : فَمَنْ ؟!
(أخرجه البخاري ومسلم)
"Sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan
orang sebelum kalian, sejengkal sejengkal, sehasta sehasta. Sampai kalau
mereka memasuki lobang biawak, sungguh kalian akan mengikutinya.' Kami
bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Apakah (mereka itu) Yahudi dan Nashrani?'
Beliau menjawab, ‘Siapa lagi (kalau bukan mereka?' (HR. Bukhari dan Muslim)
Senang meniru, meskipun merupakan tabiat
seseorang, akan tetapi tidak baik menurut agama jika yang diikuti berbeda
dengan keyakinan dan pemikiran kita. Terutama meniru dari sisi aqidah atau
ibadah, syiar ataupun adat kebiasaan. Saat umat Islam lemah di zaman ini,
semakin bertambah keinginan mengekor kepada musuhnya. Akibatnya kebiasaan
orang barat menjadi laku, baik kebiasaan konsumerisme, maupun prilaku. Di
antara fenomena ini adalah perhatian terhadap perayaan hari ibu.’
Syekh Muhammad bin Sholeh Utsaimin
rahimahullah ditanya tentang merayakan hari ibu, maka beliau menjawab,
"Sesungguhnya semua perayaan yang menyalahi
perayaan agama. Maka semuanya itu perayaan bid’ah. Tidak dikenal pada zaman
ulama salafus sholeh. Terkadang dibuat oleh non muslim. Disamping hal itu
bid’ah, juga dianggap meniru musuh Allah Subhana Wa Ta’ala. Perayaan agama
yang dikenal menurut Islam adalah Idul Fitri dan Idul Adha, serta hari raya
mingguan, yaitu hari Jumat. Dalam Islam tidak ada lagi perayaan selain dari
tiga har raya ini. Semua perayaan yang baru selain dari itu, semuanya
tertolak dan dianggap batil dalam syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa
sallam, "Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang
tidak ada (perintahnya) maka ia tertolak." Yakni tidak diterima di sisi
Allah.
Dalam redaksi lain,
"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang
tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak."
Jika hal ini telah jelas, maka tidak
dibolehkan merayakan perayaan yang ada dalam pertanyaan yang dinamakan
dengan hari ibu. Tidak dibolehkan membuat suatu yang baru sedikitpun dari
syiar hari raya. Seprti memperlihatkan kegembiraan, kesenangan memberikan
hadiah atau semisal itu.
Seharusnya seorang muslim punya bangga dengan
agamanya dan mencukupkan diri dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah
dan Rasul-Nya sallallahu alaihi wa sallam dalam agama yang mulia ini yang
telah Allah ridhai untuk hamban-Nya. Maka jangan ditambah dan dikurangi.
Seyogyanya juga sebagai seorang muslim jangan ikut-ikutan, mengikuti semua
ajakan. Bahkan seharusnya kepribadiannya sesuai dengan syariat Allah Ta’ala.
Sehingga menjadi panutan bukan pengekor. Menjadi contoh bukan mengikuti
saja. Karena syariat Allah itu sempurna dari segala sisi. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala:
"Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. Al-Maidah: 3)
Alhamdulillah
Seorang ibu tidak cukup
dirayakan hanya sehari dalam setahun. Bahkan seorang ibu berhak mendapatkan
perhatian dan perlindungan dari anak-anaknya ditaati dalam hal yang tidak
mengandung kemaksiatan kepada Allah Azza Wajalla setiap waktu dan tempat."
(http://islamqa.info/id/ref/59905)